Menjaga Tradisi Gotong-royong Warga Lewat Jimpitan

  • Mar 08, 2018
  • tremes

Jimpitan merupakan salah satu upaya untuk mengadakan modal bagi kegiatan masyarakat seperti iuran sampah, lampu jalan dan berbagai iuran bersama lainnya. Seiring dengan berkembangnya zaman, beban untuk iuran dalam jumlah besar setiap bulannya dapat diperingan dengan melaksanakan program jimpitan dimana mekanisme dan besaran jumlah iurannya dapat disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Jimpitan dapat berupa uang ataupun beras yang menunjukkan tradisi masyarakat desa yang terus menjunjung gotong royong, kebersamaan dan saling tolong menolong. Jimpitan yang berasal dari kata “jumputan” atau “menjumput”, memiliki arti kata memungut. Praktik jimpitanadalah mengambil sumbangan berupa beras yang dikumpulkan secara beramai-ramai. Searah dengan perkembangan jaman, saat ini, kegiatan jimpitan berubah. Uang menjadi objek yang dikumpulkan sebagai pengganti beras sebagaimana dilakukan oleh masyarakat sebelumnya. Alasannya adalah agar lebih mudah dalam pengelolaan dan pemanfaatannya. Sebagaimana halnya dengan desa-desa lain di Kabupaten Wonogiri, tradisi jimpitan ini masih tumbuh berkembang di dusun-dusun wilayah Desa Tremes. Dusun Semanding, dusun dengan populasi penduduk 655 jiwa ini menggunakan jimpitan sebagai sarana penunjang jadwal ronda malam warga dusun. Tiap malam warga menyiapkan beras yang biasanya di letakkan di depan pintu rumah warga. Demikian juga dengan Dusun Tremes, Kadus Sugiman menjelaskan bahwa cara penarikan jimpitan ini ada 2 , yang pertama dalam bentuk beras yang di ambil tiap malam dan dalam bentuk uang yang di Tarik pada saat arisan dusun satu bulan sekali. [caption id="attachment_1178" align="aligncenter" width="300"] ilustrasi beras[/caption] Sementara di Dusun Mojorejo, jimpitan di ambil seminggu sekali dalam bentuk uang sebesar Rp. 1500,- tiap rumah, kemudian diambil dan di kelola oleh karang taruna yang setiap bulan di laporkan ke warga dusun pada acara arisan dusun. Sistem yang sama juga di terapkan di Dusun Kerok, dimana karang taruna setiap hari Minggu berkeliling dusun mengambil uang jimpitan dengan nominal Rp. 1000,-. [caption id="attachment_1180" align="aligncenter" width="300"] Karang taruna Dusun Kerok sebagai penarik uang jimpitan[/caption] Untuk menghimpun jimpitan, orang-orang desa menggantungkan wadah kecil di depan atau di samping rumah mereka. Ada juga yang meletakkannya di pagar rumah. Wadah-wadah itu berupa gelas plastik bekas kemasan air mineral atau kaleng kecil bekas kemasan susu. Secara rutin pemilik rumah mengisi wadahwadah itu dengan beras atau uang receh. Apa yang diisikan biasanya disepakati terlebih dahulu.Meski terkesan sepele, namun jimpitan mengandung makna kerelaan dan kental dengan semangat gotong royong. [caption id="attachment_1179" align="aligncenter" width="300"] botol bekas air minum sebagai wadah beras jimpitan[/caption] Sebuah nilai yang mulai luntur di tengah-tengah masyarakat. Tak ada paksaan setiap warga harus memberikan Jimpitan. Tapi saat ngabuburit berjalan-jalan di sekitar rumah saya melihat wadah jimpitan di hampir semua rumah tetangga. Beras atau uang hasil iuran jimpitan digunakan untuk kepentingan bersama. Dahulu saat jimpitan berupa beras, beras yang terkumpul biasa digunakan untuk menyumbang tetangga yang punya hajatan atau dimasak saat ada acara kampung seperti syukuran 17 Agustus. Beras-beras itu juga dibagikan kepada orang-orang yang membutuhkan. Tradisi yang lekat dengan cirikhas budaya Jawa ini sudah sepantasnya untuk di lestarikan, karena dengan adanya jimpitan ini setidaknya budaya gotong royong dan tolong menolong akan tetap terjaga dalam perkembangan jaman yang seakan tanpa batas seperti sekarang ini.(admin)